TIMES REMBANG, TEGAL – Mohamad Arief Junaidi, pemuda asal Kabupaten Tegal Jawa Tengah, menulis daftar panjang impiannya sejak kecil dalam sebuah buku dengan penuh harapan. Salah satunya adalah ingin belajar di luar negeri dan sejak awal Turki telah menjadi negara yang ia dambakan.
Lahir dari keluarga sederhana dan dibesarkan oleh sang nenek yang penuh kasih, Arief tumbuh sebagai pribadi yang haus akan ilmu dan pengalaman baru. Ketika neneknya wafat pada 2013, dia merasa kehilangan sosok pendidik yang selama ini menanamkan nilai kehidupan dan semangat belajar padanya.
"Negeri Dua Benua itu bagi saya bukan hanya sekadar destinasi, melainkan simbol dari mimpi besar yang ingin diwujudkan sejak lama," katanya dalam wawancara eksklusif bersama TIMES Indonesia, Selasa (29/7/2025).
Jejak Santri Berprestasi
Kecintaannya pada dunia pendidikan membawanya menjadi santri, mengikuti harapan mendiang neneknya. Dari mulai TK hingga menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren, Arief selalu mencatatkan prestasi.
Selepas lulus, ia menjalankan kewajiban sebagai alumni Gontor untuk mengabdi selama satu tahun, mengajar dan membina santri lain. Ia selalu memberikan semangat agar para santri menjadi pribadi yang lebih baik.
Selain itu dirinya kerap menyampaikan pesan menyentuh, bahwa jika di hari perhitungan nanti ia tidak ditemukan di surga, dia berharap ada yang menariknya karena pernah mengajarkan meski hanya setitik ilmu.
Target ke Luar Negeri
Dengan prinsip hidup bahwa kuliah di luar negeri adalah harga mati, Arief menolak mengikuti seleksi perguruan tinggi negeri di Indonesia meski banyak yang yakin ia berpeluang besar diterima. Ia memilih menempuh jalannya sendiri hingga diterima sebagai mahasiswa di Kutahya Dumlupinar University, Turki.
"Bagi saya kuliah di luar negeri bukan sekadar belajar, tetapi juga menjelajah budaya, membangun jaringan global, dan menantang diri untuk tumbuh di lingkungan yang sangat berbeda," ungkap dia.
Hidup di negeri baru tak selalu mudah. Arief sempat mengalami imposter syndrome dan culture shock. Namun ia berpegang pada keyakinan bahwa semua butuh waktu. Ia belajar untuk sabar, menyesuaikan diri, dan tidak takut untuk terus mencoba.
"Penguasaan bahasa Inggris tentu membantu saya lebih cepat dalam beradaptasi, bahkan membuka jalan untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada teman-teman kelas lainnya," tutur dia.
Transformasi Menjadi Duta Inspirasi
Sebagai Duta Inspirasi Indonesia, Arief aktif dalam komunitas, organisasi, dan berbagai kegiatan pengembangan diri. Ia percaya bahwa inspirasi muncul ketika kreativitas bertemu dengan keberagaman.
Lewat satu sesi coaching, ia mendapat kesadaran bahwa kekuatannya terletak pada kemampuannya berbagi cerita budaya.
Ia pun memanfaatkan setiap momen belajar untuk mengenalkan Indonesia kepada dunia. Saat masa jabatannya sebagai Duta Inspirasi berakhir, seorang teman mengatakan bahwa kehadirannya membuat kelas lebih berwarna.
"Dari situ saya menyadari bahwa inspirasi bukan soal menjadi hebat, tetapi tentang membuat orang lain menemukan cahaya mereka, bahkan di tengah perbedaan, bahkan di Negeri Dua Benua," tutupnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mohamad Arief Junaidi, Dari Tegal Menuju Duta Inspirasi Indonesia di Negeri Dua Benua
Pewarta | : Wandi Ruswannur |
Editor | : Ronny Wicaksono |