TIMES REMBANG, YOGYAKARTA – Di tengah dinamika sosial dan potensi gesekan di berbagai daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menunjukkan dirinya sebagai simbol kedamaian dan keteladanan bagi Indonesia. Gerakan masyarakat untuk menjaga keamanan, toleransi, dan inklusi sosial di wilayah ini terbukti masih hidup dan aktif.
Hal tersebut ditegaskan oleh Wakil Ketua DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, dalam Forum Group Discussion (FGD) bertajuk 'Merajut Kohesi Sosial untuk Jogja Damai' yang digelar di Kantor Sekretariat DPD RI DIY, Senin (20/10/2025).
Menurut GKR Hemas, kekuatan utama Yogyakarta bukan hanya terletak pada pemerintah dan aparatnya, melainkan juga pada warganya yang memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga harmoni di tengah masyarakat.
“Di Jogja ini masyarakatnya luar biasa. Dalam masa krisis, yang paling penting bukan apa yang terjadi, tapi bagaimana kita bersikap. Gerakan masyarakat seperti Jaga Kampung dan Jaga Warga itu bukti bahwa warga Jogja sudah bergerak secara mandiri menjaga kedamaian,” ujar GKR Hemas.
Ia menambahkan, Yogyakarta kini bukan hanya milik orang Jogja semata, tetapi sudah menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.
Dengan posisi strategisnya sebagai kota pendidikan, budaya, dan pariwisata, Jogja bahkan dianggap sebagai barometer kedamaian nasional.
“Kalau Jogja aman, maka Indonesia juga aman,” tegas peraih penghargaan tokoh perempuan inspiratif dari Anugerah TIMES Indonesia (ATI) tahun 2020 ini.
Budaya dan Adat Jadi Benteng Kedamaian
Lebih lanjut, GKR Hemas menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai budaya dan adat yang telah menjadi roh kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Menurutnya, akar budaya inilah yang membuat warga Jogja mampu meredam potensi konflik sosial dan menjaga keseimbangan hidup.
“Yang perlu kita pertahankan ialah budaya dan adat yang masih hidup di Jogja. Karena demi menjaga kedamaian, kita butuh budaya itu. Saat ini, Indonesia sudah sangat kritis terhadap adat dan budaya. Sedikit saja ada gesekan, bisa langsung jadi konflik,” jelasnya.
Ia juga berharap agar seluruh pihak—baik pemerintah, tokoh masyarakat, maupun warga biasa—terus berperan aktif menjaga nilai-nilai luhur tersebut agar Jogja tetap beradab dan menjadi sumber inspirasi bagi daerah lain.
Jaga Warga: Dari Kalurahan untuk Indonesia Damai
Sementara itu, Lurah Tamanmartani, Gandang Hardjanata, menegaskan bahwa semangat perdamaian di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, yang berarti memperindah dan memelihara harmoni dunia.
Menurutnya, falsafah itu kini diwujudkan dalam program reformasi kalurahan, yang berfokus pada dua aspek: reformasi birokrasi dan reformasi pemberdayaan masyarakat.
“Kami menyambut baik kebijakan Gubernur DIY, karena masyarakat kini tidak hanya menjadi objek kebijakan, tapi juga menjadi pelaku langsung. Reformasi kalurahan membuat masyarakat punya ruang untuk ikut menjaga ketenteraman,” ungkap Gandang.
Salah satu bentuk nyata dari reformasi ini adalah penguatan program Jaga Warga—gerakan sosial di tingkat kalurahan yang berfokus pada penguatan solidaritas dan kerukunan warga.
“Jaga Warga bukan hanya tentang keamanan, tapi tentang menjaga ketentraman dan kerukunan. Dan kami tidak bisa mewujudkannya tanpa peran serta masyarakat,” tambahnya.
Strategi Sosial untuk Jogja Damai
Dalam forum tersebut, hadir pula Ketua Sekber Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra, serta Sekretaris Pawiyatan Pamong, Fajar Sujarwo, yang memaparkan strategi sosial dalam menjaga kedamaian Jogja.
Fajar menjelaskan bahwa ada tiga strategi utama yang dijalankan dalam membangun kohesi sosial di Yogyakarta, yaitu:
- Renaisans, yakni menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dan semangat gotong royong masyarakat.
- Restorasi, yaitu mengembalikan harmoni sosial yang sempat terganggu oleh perbedaan atau konflik kecil.
- Arus Balik, yaitu mengajak masyarakat kembali kepada nilai-nilai budaya adiluhung yang menjadi fondasi perdamaian.
Inspirasi Nasional dari Tanah yang Menjaga Harmoni
Diskusi ini menegaskan kembali bahwa Jogja bukan hanya ikon budaya, tetapi juga mercusuar kedamaian Indonesia.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan potensi disrupsi sosial, semangat Jaga Warga dan Hamemayu Hayuning Bawana menjadi bukti bahwa masyarakat Jogja masih memegang teguh nilai-nilai toleransi dan gotong royong.
GKR Hemas menutup pernyataannya dengan pesan penuh makna:
“Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga Jogja tetap damai, karena dari Jogja-lah Indonesia belajar bagaimana hidup dengan saling menghormati.”
Dengan sinergi antara pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat, Yogyakarta kembali meneguhkan jati dirinya sebagai daerah istimewa—bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara moral dan sosial. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Yogyakarta Jadi Barometer Kedamaian Indonesia, GKR Hemas Puji Kontribusi Warga
Pewarta | : Soni Haryono |
Editor | : Ronny Wicaksono |